Wenshi Indriani Hadisumarto tertegun saat aparat negara tiba-tiba masuk ke Gedung Wisma Pandanaran, Jl. Gajah Mada, Kota Semarang. Ia masih remaja. Ia datang ke ritual Tahun Baru Imlek bersama papa dan mamanya. Ritual Imlek diselenggarakan secara tertutup dan diikuti belasan orang saja itu dilarang pemerintah.
Itu jaman Orde Baru. “Saya lupa tahunnya, sudah lama sekali,” kata Wenshi.
Tetapi, setelah terjadi dialog antara aparat dengan panitia, akhirnya ritual Imlek tetap dilangsungkan. Sebentar kemudian bubar.
Kenangan itu terus tertancap di benak Wenshi.
Sejak Presiden ke-2 RI, Soeharto, memberlakukan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, mulai tahun 1968 Pemerintah RI membatasi perayaan Imlek. Sejak itu Imlek dilangsungkan dengan ritual sederhana di rumah tanpa pernak-pernik.

Dan bagi Wenshi pembubaran ritual Imlek tersebut adalah pengalaman pertama baginya.
Di jaman Orde Lama, kata Wenshi yang lahir tahun 1961, Imlek dirayakan dengan berbagai kegiatan. Salah satunya, yang masih dia ingat, adalah pasar malam di Gang Baru, Kawasan Pecinan, Kota Semarang. Pasar malam ini sangat ramai dan meriah, mulai pukul 19.00 sampai pagi. Yang datang bukan hanya warga Tionghoa, namun juga dari berbagai agama.
“Pasar malam itu sangat ramai. Saya diajak mama ke pasar itu. Benar-benar senang,” kata Wenshi yang ketika itu masih kecil.
Namun, pada tahun 1967, ketika Inpres Nomor 14 Tahun 1967 terbit, berangsur-angsur perayaan Imlek redup dan menghilang. Sejak itu, selama bertahun-tahun, perayaan Imlek di Indonesia dilangsungkan tertutup. Warga Tionghoa hanya melaksanakan Imlek dengan ritual di rumah atau tempat ibadah dan kunjungan sanak famili.
“Tapi, meski Imlek kami laksanakan secara terbatas, tetangga-tetangga tetap memberi ucapan kepada kami. Kami juga membagi-bagikan kue keranjang ke tetangga. Begitu halnya kalau hari raya agama lain kami juga memberi ucapan,” kata Wenshi yang mengaku hidup di kampung itu.
Maka, ketika Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid, mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan mengganti dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada tahun 2000, Wenshi dan warga Tionghoa umumnya, menyambut dengan suka ria.

“Ketika itu saya bahagia sekali. Saat itu saya hadir, di Jakarta. Saya benar-benar haru dan menangis. Apalagi kemudian dirayakan secara nasional, meski awalnya hanya di Jakarta dan Surabaya saja,” kata Wenshi yang pada tahun 2000 itu menjadi pengurus Majelis Agama Konghucu.
Kala itu KH Abdurrahman Wahid menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif, atau berlaku bagi mereka yang merayakan, berdasarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kemudian Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, menetapkan sebagai hari libur nasional pada 2003.
Mulai tahun 2001 Imlek dirayakan secara meriah. Di Solo, sejak tahun 2021 grup barongsai Tripusaka selalu tampil untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek di mana-mana, mulai kampung, perkantoran, sekolahan, restoran hingga mall.
Pada Imlek 2575 Kongzili ini, Tripusaka yang bermarkas di Jl. Drs Yap Tjwan Bing, Kec. Jebres, Solo, komplet bersama kesenian liong sudah tampil sejak Jumat (9/2) malam, lalu Sabtu hari ini pagi dan sore tampil di mall di Solo, Minggu (11/2) keliling di tiga lokasi di Solo, kemudian pada 24 Februari tampil lagi pada Misa Imlek.
Tripusaka didirikan oleh Ws. Adjie Chandra, pemuka agama Konghucu dan tokoh Tionghoa di Solo, pada 1999. Sebelumnya, pada 1998, ketika awal reformasi, Adjie Chandra membentuk dan mengenalkan kembali olah raga wushu di Indonesia.
Menariknya, grup barongsai Tripusaka yang tidak terpisah dari rumah ibadah Litang Gerbang Kebajikan itu anggotanya mayoritas non etnis Tionghoa. Memang pada awal berdiri yang memainkan adalah warga Tionghoa, namun saat ini dari 60 orang yang terlibat di grup ini hanya 5% saja yang keturunan Tionghoa.
“Jadi sudah 25 tahun barongsai Tripusaka pemainnya mayoritas bukan warga keturunan Tionghoa. Ini berarti, tanpa gambar-gembor pun, Tripusaka sejak 25 tahun sudah membuktikan adanya moderasi agama di Indonesia. Di mana kesenian barongsai, yang identik dengan kebudayaan Tiongkok dan Konghucu, dimainkan dan diperagakan oleh saudara-saudara kita yang non Tionghoa. Sekarang, secara alami, barongsai sudah menjadi bagian dari kesenian di Indonesia,” kata rohaniawan yang sudah empat periode menjadi pengurus FKUB Kota Solo ini.

Adjie yang lahir tahun 1958 ini mengatakan ketika jaman Orde Lama, sejak tahun 1944 warga Konghucu mendapatkan hak yang setara dengan penganut agama lain di Indonesia. Bahkan warga Tionghoa mempunyai empat hari libur keagamaan.
Bukan hanya kehidupan beragama, bahkan kesenian Tiongkok juga tumbuh dan berkembang di Indonesia, seperti halnya wayang potehi, barongsai, liong dan wushu. Tahun Baru Imlek juga berlangsung meriah.
Kini kesenian barongsai bukan hanya tampil di kegiatan warga Tinghoa namun di semua iven, termasuk “hajatan” warga Muslim.
Tentang kegiatan pribadi saat Imlek 2575 Kongzili, Adjie pada Sabtu (10/2) pagi hari sudah melakukan peribadatan di Litang Gerbang Kebajikan dan membuka pintu untuk warga Konghucu melakukan sembahyang. Setelahnya menerima kedatangan dan kumpul-kumpul bersama kedua anaknya, cucu dan keponakan, “Karena saya yang paling tua,” kata Adjie yang juga pengurus Majelis Agama Konghucu ini.
Drs. KH. N. Mustam Aji, MM., Ketua FKUB Kota Semarang, melihat bahwa sambutan Tahun Baru Imlek dari warga non Tionghoa, khususnya di Kota Semarang, dari tahun ke tahun cukup semarak. Ini ditandai dengan ucapan Imlek di mana-mana, termasuk dari warga non Tionghoa. Demikian pula perayaan Imlek digelar di mana-mana dengan melibatkan masyarakat non Tionghoa.
Perayaan Tahun Baru Imlek bahkan sudah bukan hanya milik warga Tionghoa, namun juga milik semua agama.
Merayakan Imlek, kata Mustam Aji, senafas dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Sebagai Ketua FKUB Kota Semarang, KH Mutam Aji mengatakan di FKUB terdapat juga keterwakilan dari Konghucu. FKUB rutin mempunyai kegiatan dialog dan diskusi lintas agama sekali sebulan serta berkunjung ke tempat-tempat ibadah.
“Saudara-saudara Konghucu kita undang di setiap kegiatan pasti datang. Kita memang mempunyai kegiatan rutin yaitu dialog atau diskusi sebulan sekali membahas soal-soal keagamaan,” kata KH Mustam Aji.
Perayaan Tahun Baru Imlek 2575 Kongzili. Gong xi fa cai. Semoga kesejahteraan menyertai kita semua. (budi santoso)