Oleh Ema Butsi Prihastari, M.Pd
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momentum penting untuk merefleksikan kembali makna pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi medan pengasahan karakter, penyemaian nilai, dan penguatan peradaban.
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang bergerak cepat, kita seakan diingatkan: sejatinya pendidikan adalah jantung kehidupan sosial kita. Bukan semata tentang ruang kelas, buku pelajaran, atau nilai ujian, melainkan tentang membentuk manusia seutuhnya.
Potret Pendidikan Kita: Sebuah Renungan
Pagi itu, saya berpapasan dengan seorang bocah kecil di pinggiran kota, mengenakan seragam sekolah yang telah memudar warnanya. Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah buku tulis lusuh. Senyum lelahnya tidak mampu menyembunyikan semangat yang menyala di matanya. Bagi sebagian dari kita, sekolah mungkin hal biasa. Tapi bagi anak itu, setiap langkah menuju ruang kelas adalah perjuangan, adalah harapan.
Potret itu hanyalah satu dari jutaan cerita pendidikan di negeri ini. Ada anak-anak di pedalaman yang harus berjalan berjam-jam menyeberangi sungai demi belajar. Ada pula guru-guru yang bertahan di daerah terpencil dengan fasilitas minim, tapi tetap menyalakan lilin pengetahuan di tengah kegelapan keterbatasan.
Sementara itu, di kota-kota besar, kita juga dihadapkan pada tantangan lain: kesenjangan akses, komersialisasi pendidikan, hingga ketimpangan kualitas antar sekolah. Di era digital ini, ironi semakin mencolok — ketika sebagian anak dengan mudah mengakses pendidikan daring kelas dunia, sebagian lainnya bahkan tak memiliki perangkat untuk sekadar mengikuti pelajaran jarak jauh.
Semua ini mengajarkan kita bahwa pendidikan belum sepenuhnya menjadi hak yang adil bagi semua anak bangsa.

Mendidik dengan Hati, Bukan Hanya Metode
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah mengajarkan bahwa pendidikan harus berpihak pada kemerdekaan batin peserta didik. Mengajar bukan hanya tentang mengisi pikiran dengan informasi, tetapi menghidupkan akal budi, menumbuhkan rasa ingin tahu, mengasah keberanian berpikir, dan menanamkan nilai-nilai luhur.
“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, ajaran beliau tetap relevan hingga kini. Seorang pendidik harus mampu memberi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan memberi dorongan dari belakang.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, pendidikan kita sering terjebak dalam rutinitas administratif, berfokus pada angka, nilai, dan akreditasi. Ada kalanya, proses humanisasi peserta didik menjadi tersisih, tergantikan oleh target kurikulum yang kaku.
Pendidikan yang bermakna sejatinya lahir dari hubungan batin antara guru dan murid. Ia memerlukan ketulusan, kesabaran, dan kepekaan. Pendidikan yang hebat bukanlah yang melulu menghafal teori, melainkan yang mampu mengubah kehidupan seseorang — memberinya makna, arah, dan harapan.
Transformasi Pendidikan di Era Digital: Antara Peluang dan Tantangan
Revolusi digital membawa perubahan luar biasa dalam dunia pendidikan. Hari ini, akses terhadap ilmu pengetahuan terbuka lebar. Melalui internet, seorang anak di desa terpencil bisa belajar dari profesor kelas dunia. Teknologi mempercepat distribusi ilmu dan membuka peluang kolaborasi tanpa batas.
Namun, teknologi juga menghadirkan tantangan baru: disrupsi cara belajar tradisional, kesenjangan digital, bahkan ancaman pada nilai-nilai lokal dan kebangsaan.
Di sinilah peran guru, akademisi, dan seluruh ekosistem pendidikan diuji. Bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan nilai-nilai luhur pendidikan kita? Bagaimana kita bisa tetap membangun karakter bangsa di tengah gempuran globalisasi?
Jawabannya terletak pada prinsip “pendidikan berbasis nilai”: menggunakan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Memadukan literasi digital dengan literasi moral. Membimbing peserta didik untuk tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga berintegritas dan berempati.
Pendidikan Adalah Investasi Peradaban
Dalam sejarah peradaban, pendidikan selalu menjadi pilar utama kebangkitan bangsa. Jepang pasca-Perang Dunia II bangkit bukan karena kekayaan alam, tetapi karena investasi besar pada sektor pendidikan. Singapura berubah dari negara kecil menjadi pusat ekonomi dunia juga karena fokus pada kualitas sumber daya manusianya.
Indonesia, dengan segala potensinya, memiliki peluang besar untuk membangun masa depan gemilang melalui pendidikan. Namun, ini membutuhkan komitmen serius: memperbaiki ekosistem pendidikan, memperkuat kesejahteraan guru, menghapuskan praktik-praktik diskriminatif, dan mendorong inovasi yang berpihak pada kemanusiaan.
Pendidikan bukan sekadar biaya yang harus ditekan, tetapi investasi jangka panjang yang akan menentukan wajah bangsa di masa depan.
Merayakan Hari Pendidikan Nasional: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan. Ia harus menjadi momentum refleksi: apa yang sudah kita lakukan untuk pendidikan bangsa ini? Apa yang bisa kita kontribusikan?
Bagi pemerintah, Hardiknas adalah pengingat untuk terus memperbaiki kebijakan pendidikan, memperluas akses, dan meningkatkan mutu secara merata.
Bagi pendidik, ini adalah ajakan untuk mengajar dengan hati, membangun hubungan yang tulus dengan peserta didik, dan terus belajar serta berinovasi.
Bagi orang tua, ini adalah panggilan untuk menjadi mitra sejati dalam pendidikan anak-anak, tidak hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Bagi kita semua, ini adalah kesempatan untuk menghidupkan nilai-nilai keadilan, empati, dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan bukan hanya tugas sekolah, tetapi tugas kita semua — di rumah, di jalan, di ruang publik, dan di dunia digital.
Menyalakan Asa, Merangkai Masa Depan
Pagi ini, ketika mendengar nyanyian Indonesia Raya berkumandang di sekolah-sekolah, hati saya terasa penuh haru. Di balik suara kecil anak-anak itu, ada harapan besar untuk Indonesia yang lebih baik.
Mereka adalah penerus bangsa, pewaris peradaban. Tugas kita adalah memastikan bahwa mereka mendapatkan pendidikan terbaik, pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menguatkan karakter dan mengasah empati.
Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh sistem dalam sekejap. Tapi kita bisa memulai dari langkah-langkah kecil: menjadi guru yang lebih peduli, menjadi orang tua yang lebih mendukung, menjadi warga negara yang lebih menghargai ilmu.
Dalam setiap doa, dalam setiap langkah kecil yang kita ambil untuk memperbaiki pendidikan, di sanalah kita sedang menyalakan asa untuk masa depan bangsa.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Mari terus belajar, mengajar, dan menginspirasi.
Tentang Penulis
Ema Butsi Prihastari, M.Pd adalah seorang akademisi dan pemerhati pendidikan. Aktif mengajar di Universitas Slamet Riyadi. Ia juga sering menulis tentang isu-isu sosial, pendidikan, dan kemanusiaan di berbagai media massa. Baginya pendidikan adalah jembatan emas menuju masa depan bangsa yang lebih adil dan beradab.
Bisa dihubungi di email: butsinegara@gmail.com