Kepala Kantor Bahasa NTB Rindu Semarang dan Grobogan

Rindu kampung halaman, itulah yang sering dirasakan oleh perantau, termasuk Dr. Puji Retno Hardiningtyas, S.S., M.Hum.,  Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Setelah 17 tahun merantau di Bali dan kini NTB, wanita kelahiran Grobogan ini merindukan bisa berkarir di Jawa Tengah.

“Cita-cita itu pasti ada, berada di kampung halaman. Saya 17 tahun meninggalkan Semarang dan Grobogan,” kata ibu dua orang putri yang kini tinggal di Kota Mataram ini.

Puji Retno Hardiningtyas lahir dan menghabiskan masa kecil hingga jenjang SMA di Kabupaten Grobogan. Setelah lulus SMAN 2 Purwodadi (berubah nama SMAN 1 Grobogan) diterima di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang) tahun 1999 dan lulus 2004.

“Sebenarnya setelah lulus SMA itu saya ada tiga pilihan, yaitu Jurusan Pertanian di UNS, Penyuluhan Perairan di Undip dan Sastra Indonesia di IKIP Semarang. Saya tidak tahu kenapa yang diterima di Sastra Indonesia dan mengapa saya mengambil Sastra Indonesia,” kata putri kedua Rodjikan, Kepala SDN 2 Selojari, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan, ini.

Lulus kuliah Retno diterima mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 7 di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. “Sebenarnya ketika masih kuliah saya sudah mengajar,” kata Retno.

Retno yang kala itu sedang mengambil Akta Mengajar pada 2006 ikut mendaftar lowongan CPNS di Badan Bahasa Indonesia dan mendaftar melalui Balai Bahasa Jawa Tengah. Retno diterima dan ditempatkan di Balai Bahasa Bali.

Retno lama berkarir di Bali sebagai peneliti. Di Pulau Dewata pula Retno melanjutkan S2 dan S3-nya di Universitas Udayana.

Tahun 2022, tepatnya 18 Mei, Retno dipromosikan menjadi Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTB. Tanggal 2 Juni 2022 barulah berkantor di Kantor Bahasa yang berlokasi di Jalan Dr. Sudjono, Jempong Baru, Kec. Sekarbela, Kota Mataram. Sementara suami Retno, Wahyu Aji Wibowo (kelahiran Banyumas), tetap menjadi peneliti di Balai Bahasa Bali.

Selama menjadi Kepala Kantor Bahasa NTB, Retno tetap tidak meninggalkan kebiasaannya selama di Bali. Selama di Bali, Retno aktif turun ke lapangan, ke acara sastra dan berkunjung ke sanggar-sanggar sastra.

Kebiasaan itu diterapkan di Kantor Bahasa NTB.  “Kantor atau Balai Bahasa tidak dikenal orang kalau kita tidak terjun ke masyarakat. Itu prinsip saya sampai sekarang. Kalau kita turun ke masyarakat dan terjun ke sastrawan langsung, ada rasa berbeda dan ada hal yang tidak bisa ditukar dengan finansial,” ujar wanita kelahiran 1981 ini.

Kota Semarang bagi Retno mempunyai kenangan yang indah. Selain tempatnya kuliah, Retno juga aktif di kegiatan sastra dan teater. Selama di Semarang Retno di antaranya bergaul dengan cerpenis Triyanto Triwikromo, Gunoto Sapari dan Sendang Mulyono. Retno pernah ikut mengisi sandiwara radio di RRI Solo.

Tahun 2004, ketika Retno melamar menjadi anggota KPID Jawa Tengah, dia diwawancarai sastrawan Darmanto Jatman. “Wawancara KPID saya diwawancarai Pak Darmanto Jatman, soal psikologi dan penguasaan bahasa. Saya melamar tapi gagal,” ujarnya sambil tersenyum.

Sedangkan dengan pengarang N.H. Dini, Retno pernah menimba ilmu menulis. “Saya diajari Bu N.H. Dini, pengalamannya sebagai menulis,” katanya kepada beritajateng.net dan lombokraya.com di Lombok Barat.

Minat Retno di dunia sastra tidak ujuk-ujuk karena dia kuliah di Jurusan Sastra IKIP. Pasalnya, sejak di bangku SD Retno sudah akrab dengan dunia sastra.

“Sejak SD saya sudah menulis puisi. Cuma tidak diasah. Lanjut di SMP saya membaca puisi. Disuruh membaca puisi dengan gaya berbeda, dengan suara lantang saya. Setiap ada acara saya yang disuruh baca puisi,” katanya.

Ketika di Bali pun Retno aktif di kegiatan sastra. Juga bergaul dengan sejumlah sastrawan Bali, termasuk dengan Umbu Landu Paranggi. “Bu Retno selama di Bali aktif di kegiatan-kegiatan sastra dan aktif turun ke bawah. Beliau bukan tipe pegawai yang asyik di belakang meja,” kata Wayan Jengki Sunarta, sastrawan yang tinggal di Denpasar, Bali.

Disertasi Retno mengangkat puisi-puisi karya penyair Bali periode 1960-an sampai 2015 dari sudut ekologi sastra, yaitu tentang kerusakan dan kehancuran keindahan alam dalam puisi.(res)

Array
Related posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup