Jika masyarakat Samosir mempunyai Patung Yesus di Bukit Sibea-bea, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, atau Bali mempunyai patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Desa Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, maka Ponorogo bakal mempunyai Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP).
Tinggi Patung Yesus 61 meter, GWK 121 meter, dan MRMP 126 meter. Ini berarti MRMP lebih tinggi dari GWK dan Patung Yesus.
MRMP berada di Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lokasi MRMP berada di pinggir jalan arah Ponorogo-Magetan. Tidak jauh dari pusat pemerintahan Kecamatan Sampung. Juga dekat Pasar Sampung. Dari kejauhan MRMP sudah terlihat menjulang gagah dengan latar belakang Gunung Wilis.
MRMP jaraknya sekitar 30 km dari Kota Ponorogo. Jalannya aspal mulus—meski ada satu dua bagian jalan yang bergelombang dan melesak–Sepanjang jalan menuju MRMP terdapat warung atau depot dengan “harga desa” (misalnya seporsi nasi lele bakar plus lalapan Rp 10.000).
MRMP digagas Bupati Ponorogo, Giri Sancoko (periode 2021-2024 dan 2025-2030). Gagasan ini mengemuka saat Kang Giri—sapaan akrabnya–baru menjabat Bupati Ponorogo periode pertama. Bisa jadi obsesi MRMP tersebut sudah mengendap jauh sebelum putra asli Ponorogo ini terpilih menjadi Bupati.
Gagasan MRMP sudah lama di benak Kang Giri adalah hal yang wajar. Penulis yang sudah mengenal Kang Giri sejak tahun 1998 tahu ayah tiga orang anak ini kaya ide, kreatif dan kadang out the box. Kang Giri bukan hanya politisi dan legislator (pernah menjadi Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur), namun juga seniman. Jauh sebelum terjun dalam dunia politik Kang Giri bergerak di bidang periklanan, satu bidang yang juga menuntut ide-ide kreatif segar dan inovatif.
Gagasan MRMP sempat terlontar ketika penulis berkunjung ke pringgitan (rumah singgah antara pendopo dan rumah induk bupati) setahun setelah Kang Giri menjadi Bupati periode pertama. Ketika itu hanya gagasan dan lokasi yang masih berupa bukit kapur di Sampung.
Daya Tarik Wisata dan Edukasi
MRMP berada dalam satu kawasan seluas 29 hektar atau 290.000 meter persegi. Berada di lahan bukit tempat penggalian gamping sejak jaman Belanda. Monumen Reog tidak saja berpadu-padan dengan Museum Peradaban Ponorogo, namun juga wahana rekreasi.
MRMP memang diharapkan menjadi daya tarik pariwisata dan pemantik bangkitnya industri pariwisata di Bhumi Reog. Keberadaan MRMP melengkapi objek wisata yang sudah ada, di antaranya Makam Batoro Katong, Makam Kiai Ageng Mohammad Besari, Telaga Ngebel, dan lainnya.
Pemilihan lokasi di wilayah Kecamatan Sampung, tepatnya di Desa Sampung, bagi penulis adalah pilihan yang tepat. MRMP “dipagari” empat situs, yaitu Gua Lawa, Medang Sampung, Watu Dukun dan cerobong bekas pabrik gamping era Belanda.
Arifin Basuki, anggota Tim Pendaftaran Cagar Budaya Ponorogo yang juga Ketua Komunitas Kepurbakalaan Jawa Kuno Kulon Wilis mengibaratkan MRMP ditopang empat situs tersebut sebagai pilar.
Kecamatan Sampung, tepatnya di Dusun Madang, Desa Sampung, diperkirakan dulunya adalah pusat kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan yang merupakan kelanjutan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) ini didirikan oleh Mpu Sindok sekitar abad 10 Masehi yang kemudian dilanjutkan oleh Raja Airlangga.
Di Medang Kamulan inilah Airlangga menempa diri dan untuk kemudian memimpin Medang Kamulan hingga kemudian pecah menjadi Kerajaan Kediri dan Janggala. Situs Watu Dukun di Desa Pagarukir, Kecamatan Sampung, ditengarai tempat Airlangga dan Patihnya, Narotama, digembleng keilmuan oleh Mpu Barada sekitar tahun 1016 Masehi kala peristiwa Paralaya, Kerajaan Medang yang saat itu dipimpin Dharmawangsa diserang Kerajaan Sriwijaya, Wengker dan Wura-Wuri.
Saat ini banyak artefak peninggalan Kerajaan Medang yang tersebar di Kecamatan Sampung. Salah satunya adalah artefak yoni di Dusun Medang.
Sebenarnya artefak lingga-yoni tidak hanya banyak ditemukan di Sampung, namun juga hampir di seantero Kabupaten Ponorogo. Ini sebagai bukti bahwa Kerajaan Medang, atau Ponorogo rikala semana (jaman dulu), adalah wilayah agraris dengan pertanian yang subur, di mana masyarakatnya selalu melakukan ritual terima kasih atau bersyukur kepada Sang Pencipta karena dikaruniai hasil pertanian yang melimpah melalui media lingga-yoni dan miniatur lumbung padi.
Di Kecamatan Sampung ini pula terdapat Gua Lawa—sekitar 500 meter dari MRMP. Adalah Geolog asal Belanda kelahiran Padang, Sumatera Barat, L.J.C. van Es, yang penelitiannya tahun 1926 menemukan bahwa Gua Lawa pada jaman pra-sejarah sudah dihuni manusia purba yang memproduksi alat-alat berburu dan memasak dari tulang hewan-hewan besar.
Penelitian van Es kemudian dilanjutkan oleh L.J.C. van Stein Callenfels, seorang arkeolog (pra-sejarawan) berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1928 – 1931 Callenfels melanjutkan penggalian (ekskavasi). Pada tahun 2000-2001 dan 2019 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga melanjutkan penelitian di Gua Lawa.
Sebagaimana buku yang diterbitkan Puslit Arkelogi Nasional, Sampung Bone Industries, Budaya Alat Tulang di Situs Gua Lawa, menyebutkan bahwa beberapa temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli tersebut telah mengindikasikan adanya corak kehidupan masa lalu (prasejarah) di gua ini.
Salah satu karakteristik budaya prasejarah di situs Gua Lawa adalah industri alat tulangnya yang sangat melimpah serta bervariasi bentuk/tipenya. Begitu menonjolnya temuan artefak tulang dari gua ini hingga Gua Lawa terkenal dengan eponym ‘Sampung Bone Industries’ atau ‘Sampungan’.
Di tengarai, manusia purba penghuni Gua Lawa adalah cikal-bakal masyarakat Ponorogo, cikal bakal peradaban di kabupaten ini.
Kebanggaan Indonesia
Sebagai daya tarik pariwisata, pembangunan MRMP juga menjadi simbol identitas Ponorogo sebagai daerah kelahiran kesenian reog.
Monumen yang menjulang di antara hamparan dan ceruk bukit kapur ini seakan menunjukkan kepada dunia bahwa “inilah Ponorogo”, tempat lahirnya kesenian reog yang sudah mendunia itu, dan reog tidak lahir dari negara lain.
“Inilah tempat lahirnya” kesenian reog yang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage) pada Sidang Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage ke-19 di Paraguay, tanggal 3 Desember 2024. Reog Ponorogo menjadi warisan budaya takbenda ke-14 dari Indonesia yang dienkripsi ke dalam daftar UNESCO.
Apresiasi (lebih tepatnya rasa memiliki, melu handarbeni) penduduk Ponorogo sendiri terhadap kesenian reog juga cukup tinggi. Banyak berdiri sanggar-sanggar tari yang basic-nya reog, juga grup kesenian reog hampir di setiap desa atau kecamatan di Kabupaten Ponorogo. Patung Prabu Klono Sewandana, dadak merak, warok, jathilan dan bujang ganong menghiasi perempatan atau pertigaan jalan dan sudut-sudut Kota Ponorogo.
Lihat saja Festival Nasional Reog Ponorogo XXX (24 sd 26 Juni 2025) yang digelar dalam rangka Grebeg Suro (tanggal 17 sd 26 Juni 2025) di Alun-alun Ponorogo setiap malam selalu dibanjiri penonton. Penonton dibagi dua, gratis dan berbayar (di dalam pagar dan tersedia kursi). Baik yang gratis maupun berbayar setiap malam jumlah penontonnya melimpah, padahal untuk yang berbayar tiketnya Rp 25.000 (regular) dan Rp 100.000 (VIP).
Festival Nasional Reog Ponorogo XXX tahun 2025 diikuti 41 grup (jika tidak dibatasi bisa lebih dari 41 grup). Pesertanya tidak hanya dari Ponorogo namun juga Papua (Kabupaten Waropen), Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Tulungagung, Jakarta, Jember, Lumajang, Malang, Ngawi, Madiun dan Kota Batu.
MRMP menjadi sarana edukasi untuk belajar sejarah (rikala semana), mulai dari era pra-sejarah (Gua Lawa), era Hindu-Budha dan era kolonial Belanda (cerobong pabrik gamping). Wisata pendidikan ini supaya generasi muda tahu dan paham perjalanan sejarah daerahnya, khususnya perkembangan peradaban wilayahnya.
Karena itu Museum Peradaban yang digagas Kang Giri keberadaannya sangat penting untuk mengenalkan sejarah peradaban khususnya di Kabupaten Ponorogo. Pasalnya, di Museum Peradaban akan dipaparkan perjalanan peradaban, khususnya di Ponorogo, mulai pra sejarah, era Hindu-Buddha, era Islam, era kolonial hingga era kemerdeaan RI dan sekarang. Selain di dalam Museum Peradaban pengunjung juga bisa diajak berkunjung ke Gua Lawa, situs-situs di Sampung, dengan melibatkan anggota komunitas kepurbakalaan di Ponorogo.
MRMP nantinya bukan hanya milik masyarakat Ponorogo, namun milik semua warga Indonesia. Bukan hanya masyarakat Ponorogo yang mempunyai kesenian reog, namun semua masyarakat Indonesia juga bangga mempunyai kesenian reog sebagaimana kebanggaan pada kesenian-kesenian yang lain.
Kesenian reog jangan dipahami secara ansich, namun juga memahami dan mengejawantahkan kandungan nilai-nilai, filosofi atau ajaran di dalamnya.
Sedangkan Museum Peradaban bukan hanya tentang sejarah peradaban di Ponorogo, namun perjalanan peradaban bangsa Indonesia bahkan dunia.
Maka nanti sambil menepuk dada orang akan memandang MRMP dengan berkata: “Inilah Ponorogo, inilah Indonesia!” Kata Umar Kayam, kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan lokal, termasuk kesenian reog dan nilai-nilainya. (budi santoso, wartawan/sastrawan)