SOLO, 15/12 (beritajateng.net) – Berita bohong dan ujaran kebencian dikhawatirkan akan marak di tahun politik 2023 dan 2024. Pada tahun 2023 sudah mulai dilakukan persiapan menjelang Pemilu 2024. Sementara pada 2024, merupakan puncak perhelatan politik nasional terutama suksesi kepemimpinan. Informasi yang kerap masuk di lini massa seperti Instagram, Twitter, Facebook, kerap tidak bisa dipastikan kebenarannya. Media sosial juga tak jarang menjadi ajang saling serang antar para pendukung partai maupun capres.
Anggota Komisi A DPRD Jateng Mujaeroni mengatakan, masyarakat, khususnya warganet kerap dibuat bingung dengan berseliwerannya informasi di media sosial. Banyak konstituen, terutama yang berusia di atas 50 tahun bingung dengan informasi masuk di ponselnya apakah hoaks atau tidak. Maka menjadi kewajiban pemerintah dan pihak terkait untuk mensosialisasikan mana informasi yang benar maupun tidak.
“Pemerintah atau Diskominfo harus gencar menggelar sosialisasi dan mengajarkan bagaimana cara membedakan informasi yang benar dan palsu,” ujarnya saat menjadi narasumber dialog Aspirasi Jawa Tengah “Antisipasi Hoaks Jelang Tahun Politik” yang digelar di Studio TATV Solo, belum lama ini.
Dia menambahkan, media sosial bisa menjadi sarana sosialisasi yang efektif. Masyarakat perlu diimbangi dengan pemahaman dalam menerima informasi supaya tidak mudah terjebak dan ikut menyebarkan hoaks.
“Dengan pemahaman yang kuat, pada tahun politik nanti orang akan cerdas memilih dan memilah informasi yang benar,” paparnya
Kabid E-Government Diskominfo Jateng Iswahyudi menjelaskan, ada sejumlah trik untuk mengetahui sebuah informasi hoaks atau tidak. Hoaks dari pengamatan selama ini biasanya diberi judul-judul yang bombastis serta provokatif. Bila ingin diketahui kevaliditasannya perlu cek fakta dengan mencari sumber beritanya atau link. Termasuk untuk gambar bisa mencari di Google.
“Bisa juga dengan masuk ke medsos milik Diskominfo Jateng. Pada Twitter @kominfo_jateng, dan di Instagram @kominfo.jateng. Kami akan menindaklanjuti pertanyaan. Bila hoaks, informasi itu akan kami beri stempel,” katanya.
Sementara itu, Wakil Rektor UIN RM Said Surakarta Prof Dr H Syamsul Bakri M.Ag mengatakan, masyarakat ada yang dirugikan serta diuntungkan dari informasi di media sosial. Khusus untuk hoaks patut menjadi perhatian serius. UIN RM Said pada 2019 pernah membuat riset dengan hasil 70 persen koresponden aktif ber-medsos. Dari persentase itu 44 persennya mengakui menerima dan menyebarkan ujaran kebencian baik melalui Whatsapp dan Instagram.
“Meski hanya 44 persen, itu gambaran masyarakat kita yang mudah menerima dan menyebarkan hoaks. Ini harus diantisipasi supaya pada tahun-tahun politik nanti jangan sampai hoaks menjadi biang perusak persatuan dan kesatuan,” tuturnya. (*)
editor: ricky fitriyanto