Pemerintah Seharusnya Beri Fasilitas Pesantren, Tapi Jangan Melakukan Intervensi

SEMARANG – Pemerintah sudah seharusnya memberi fasilitas kepada pondok pesantren, tapi di satu sisi pemerintah tidak boleh mengintervensi dan mengatur rumah tangga pesantren.

Demikian disampaikan Mukharom, SHI. MH., dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dalam diskusi Ngaji Selapanan di Joglo Ponpes Al Itqon, Bugen, Semarang, Minggu (17/9) malam.

Diskusi yang diprakarsai Santri Bajingan ini juga menghadirkan narasumber Denny Septiviant, SH., anggota pansus Perda Pesantren DPRD Provinsi Jateng, Fajar Purwanto, SH., MM., birokrat pemerintah dan moderator Syarif Rahmadi.

Diskusi mengangkat tema “UU Pesantren Mengatur atau Mengekang Pondok Pesantren?”

Seperti diketahui pada 24 September 2019 DPR RI mengesahkan UU No 18 Tahun 2019  tentang Pesantren, kemudian diikuti Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.

Namun hingga saat ini masih menjadi kekhawatiran di kalangan pesantren, jangan-jangan UU Pesantren malah mengekang keberadaan pondok pesantren.

Sebelumnya Mokharom menjelaskan tentang tujuan hukum, yaitu keadilan (struktur), kemanfaatan (substansi) dan kepastian hukum (kultur).

Menurut Mukharom UU Pesantren merupakan bagian dari kepastian hukum. Namun, apakah dalam satu undang-undang atau perda di dalamnya ada keadilan atau tidak, lanjutnya, apakah memberi manfaat atau tidak, terlebih dulu harus dikaji.

“Dalam konteks UU Pesantren saya menilai, dari sisi struktur, bicara tentang kelembagaan, berarti fasilitas seharusnya diberikan oleh negara tapi negara tidak boleh intervensi terhadap rumah tangga pesantren. Berikan apa yang dibutuhkan oleh pesantren, dalam konteks pembangunan pesantren,” ujarnya.

Kedua, dari sisi substansi, seharusnya semua pesantren termasuk di pelosok, dalam konteks SDM-nya, harus difaslitasi, misalnya berupa fasilitas pendidikan guru-gurunya ke jenjang yang lebih tinggi. “Kalau pesantren mempunyai SDM yang canggih maka santrinya akan canggih,” ujarnya.

Kemudian kiai, ustadz, ustadzah, yang sejauh ini menjadi mentoring santrinya, negara memberi fasilitas berupa honor sehingga mereka fokus untuk mengajar.

“Berikan honor kepada kiai, ustadz dan ustadzah sebesar Rp5 juta sebulan, menurut saya negara mampu,” ujarnya.

Terkait kurikulum, pesantren adalah lembaga pendidikan yang khas milik bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara Islam di belahan mana pun. Itu sebabnya tidak boleh dihilangkan atau harus dilestarikan. “Kultur menjadi sangat penting untuk melestarikan kekhasan pesantren,” katanya.

Mukharom menegaskan jangan sampai adanya UU ini  pesantren dipaksa mengikuti keinginan pemerintah, dan jika tidak mengikuti tidak diberi fasilitas.

“Pesantren adalah lembaga yang mempunyai azas mandiri dan mempunyai kurikulum khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan formal, dan itu tidak boleh diintervensi,” tandasnya.

Sementara itu Denny Septiviant menjelaskan bahwa saat ini DPRD Provinsi Jawa Tengah masih melakukan pembahasan Perda Pesantren. Sedangkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah, sampai saat ini baru sekitar 11 kabupaten yang mempunyai Perda Pesantren sebagaimana dimandatkan oleh UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.(res)

Leave a Reply