Langka dan Mahal, DPRD Jateng Dorong Produksi dan Distribusi Minyak Goreng Dikuasai Negara 

SOLO, 10/3 (beritajateng.net) – Pemerintah pusat diminta bersikap mengatasi kelangkaan minyak goreng. Permasalahan ini bisa dijadikan titik tolak untuk membenahi sektor pangan. Terlebih menjelang Ramadan dan Lebaran.

Ketua Komisi B DPRD Jateng Sumanto mengatakan, minyak goreng menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka pemerintah harus bersikap. “Pemerintah bisa menjadikan ini titik tolak agar distribusi dan produksi minyak goreng dikuasai negara, sehingga tidak menjadi rebutan,” katanya saat menjadi narasumber Dialog Aspirasi Jawa Tengah “Minyak Goreng Langka di Jateng, Ada Apa?” di Studio TATV Solo, Selasa (8/3/2022).

Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, UUD 1945 jelas mengatakan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan Bung Karno pada tahun 1956 menyampaikan, masalah pangan adalah masalah mati hidupnya bangsa dan diserahkan kepada ahlinya. Hal itu dikatakan Bung Karno saat peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI) yang sekarang menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Maka pemerintah harus turun tangan. Sebab kalau diserahkan ke swasta akan terus menerus seperti ini,” paparnya dalam dialog yang dipandu Host Bona Ventura Sulistiana dan Co Host Antik Wijaya tersebut.

Sumanto mengatakan, Indonesia merupakan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia. Menurutnya, harga minyak goreng naik karena kulakannya sudah mahal.

“Pedagang mau menjual dengan HET Rp 14 ribu kan rugi, kulakan saja sudah Rp 20 ribu. Masyarakat juga panic buying. Menurut BPS, kebutuhan minyak setahun kira-kira 1 liter per orang. Ketersediaan juga kurang. Di Pasar Legi Solo, meski HET Rp 14 ribu yang kemasan, curah Rp 11 ribu. Di lapangan curah harganya masih Rp 16 ribu, kemasan Rp 20 ribu,” katanya.

Kepala Dinperindag Jateng Muhammad Arif Sambodo mengatakan, minyak goreng sawit merupakan komoditi yang tidak ada dalam penguasaan pemerintah, tetapi dikelola swasta. Hal ini berbeda dengan minyak dan gas yang pengelolaannya dikuasai negara. Dia menjelaskan, kenaikan harga minyak goreng terjadi akibat adanya permintaan CPO yang tinggi di luar negeri.

“Harga CPO bukan ditentukan produsen tapi bursa. Harga CPO naik karena beberapa negara mengalami krisis energi akibat batubara langka dan beralih ke CPO yang dijadikan bio diesel,” ujarnya.

Guna mengatasi masalah itu, lanjut dia, pemerintah telah menerapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET). Selain itu, setiap eksporter sebelum menjual CPO ke luar negeri ada kewajiban untuk mengisi kebutuhan dalam negeri sebesar 20 persen.

“Tapi proses ini tidak berjalan lancar. Masyarakat juga melakukan panic buying sehingga menimbulkan kelangkaan,” ungkapnya.

Dikatakannya, sejak ada kelangkaan minyak goreng pada Desember 2022, pihaknya sudah melakukan Operasi Pasar (OP) bekerjasama dengan salah satu distributor.

“Di Jateng kita sebar 110 ribu liter untuk OP. Sejak 21 Februari -1 Maret 2022, OP lagi mendekati 1000 liter. Ini masih berlanjut,” paparnya.

Sementara Dosen Fakultas Hukum Unisri Surakarta Widiastuti mengatakan, yang terjadi saat ini adalah rebutan antara hak pangan masyarakat dengan CPO sebagai komoditas yang diperdagangkan sebagai energi. Negara yang saat ini krisis energi sangat mengandalkan CPO sebagai bio diesel untuk menggerakkan manufaktur. “Sementara produsen minyak goreng tak serta merta punya perusahaan sawit, sehingga saat ini beberapa pabrik tutup karena kesulitan mendapatkan CPO,” katanya. (*)

Leave a Reply