Bakal calon presiden Anies Baswedan dan bakal calon wakil presiden Muhaimin Iskandar berbincang saat Deklarasi Capres dan Cawapres 2024 oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu (2/9/2023).
Bergabungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang kemudian mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden, menggeser peta politik yang telah ada. Seberapa jitu langkah politik koalisi ini dapat memenangi pertarungan politik di pemilihan presiden mendatang?
Deklarasi pasangan bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan bakal calon wakil presiden (cawapres) Muhaimin Iskandar pada Sabtu (2/9/2023) menunjukkan betapa terbuka dan dinamisnya proses politik yang berjalan. Kurang dari dua bulan masa pendaftaran pemilihan presiden (pilpres), peta persaingan antarkandidat kian bergolak untuk menemukan ujungnya.
Deklarasi Anies dan Muhaimin (Gus Imin) di gedung bersejarah Hotel Majapahit Surabaya itu menjadi titik balik dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Demokrat secara tegas menolak keputusan tersebut dan memilih undur diri dari barisan koalisi yang sudah terbentuk sejak Maret 2023.
Partai Demokrat menyatakan kecewa atas keputusan Nasdem dan Anies untuk mendeklarasikan Gus Imin sebagai bakal cawapres Anies. Bagaimana tidak, hal itu dinilai tak lagi sesuai dengan kesepakatan, terlebih nama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sudah sering kali digadang untuk mendampingi Anies menjadi bakal cawapres.
Dalam penjelasan yang berkembang, ada kesepakatan yang memang tidak bisa lagi dijembatani antara Demokrat dan Nasdem sebagai bagian dari koalisi. Nasdem menginginkan deklarasi AHY sebagai bakal cawapres dilakukan di masa akhir pendaftaran. Sebaliknya, Demokrat menginginkan deklarasi segera dilakukan di awal September 2023 ini.
PETA KEKUATAN
Lalu, apa yang membuat KPP pada akhirnya menerima PKB sekaligus mendeklarasikan Gus Imin sebagai pasangan Anies? Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadikan pilihan itu memang akan condong kepada Gus Imin untuk menjadi bakal cawapres pendamping Anies.
Secara garis besar, keputusan memasangkan Anies dan Gus Imin tentu sudah melewati berbagai pertimbangan, baik keuntungan maupun potensi elektoral yang dapat didatangkan. Dalam sejumlah survei Litbang Kompas, di atas kertas sosok AHY dapat dikatakan memiliki tingkat popularitas dan keterpilihan yang jauh di atas Gus Imin.
Sekalipun demikian, kehadiran figur bakal cawapres yang ideal memang pada dasarnya perlu melengkapi berbagai keunggulan yang dimiliki oleh kandidat bakal capresnya. Secara singkat, bisa dikatakan Gus Imin lebih dapat memenuhi kriteria dalam hal melengkapi figur Anies sebagai kandidat bakal capres. Gus Imin dianggap mampu memberikan efek perluasan dukungan bagi Anies dibandingkan dengan AHY yang cenderung memiliki kesamaan ceruk dukungan.
Pertama, Gus Imin secara elektoral berpotensi memperluas dukungan kepada Anies sebagai kandidat presiden. Dengan latar belakang keluarga dan kedekatannya pada ulama besar Nahdlatul Ulama, Gus Imin memiliki modal sosial yang tinggi untuk dapat memberikan jaminan tambahan elektoral pada ceruk pemilih Islam NU.
Kedua, kehadiran Gus Imin dan PKB dapat menguatkan citra nasionalisme dan moderasi KPP dan kandidat yang diusung. Hal ini mengingat sosok Anies sejauh ini selalu dilekatkan dengan kelompok Islam kanan.
Ketiga, hal yang juga tidak kalah penting, Gus Imin tampaknya juga mampu mengisi kekurangan Anies yang selama ini cenderung masih populer di kalangan pemilih kelas menengah atas.
Diharapkan kehadiran Gus Imin dengan kekuatan latar belakangnya yang agamis, kenyang pengalaman pemerintahan dan legislatif, juga aktivis, dapat menyentuh kelompok pemilih di akar rumput dengan jangkauan yang lebih luas.
Berkaitan dengan itu, data hasil survei nasional Kompas untuk periode Agustus 2023 mencatatkan Anies dapat dikatakan cukup bisa menjangkau dukungan dari pemilih kalangan latar sosial ekonomi kelas atas dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Secara proporsi, sepertiga pemilih Anies merupakan mereka yang berlatar sosial ekonomi atas. Besaran ini mengungguli pemilih dari bakal capres lainnya, seperti pemilih Prabowo Subianto dari kelompok ini hanya sekitar dua perlima bagian. Begitu pun dengan kelompok pemilih Ganjar Pranowo yang hanya sekitar 15 persen yang berlatar belakang sosial ekonomi menengah atas.
Dukungan partai
Selain itu, kehadiran PKB yang kini menggantikan Demokrat dalam barisan KPP pun juga perlu diperhitungkan. Hasil survei Kompas Agustus 2023 menangkap peta persaingan dukungan dari koalisi yang terbangun saat ini terbaca cukup ketat.
Penggabungan kekuatan antara Nasdem, PKS, dan PKB cukup unggul di sejumlah wilayah. Koalisi ini mengantongi setidaknya seperlima bagian, baik untuk keterpilihan di Pulau Jawa maupun Sumatera.
Meskipun demikian, untuk di Sumatera, KPP harus mengakui keunggulan Koalisi Indonesia Maju yang kini digawangi oleh Gerindra, Golkar, dan PAN. Penggabungan kekuatan politik ini paling tidak dapat mengantongi kekuatan 38,2 persen di wilayah Sumatera.
Sementara di Jawa, KPP memang masih harus mengakui keunggulan koalisi PDI-P dan PPP dengan capaian keterpilihan tak kurang dari sepertiga bagian. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Koalisi Indonesia Maju, dukungan untuk KPP terbilang seimbang untuk di Pulau Jawa.
PKB sebagai partai yang secara emosional dapat menyentuh pemilih karena adanya kesamaan nilai, bahkan pemahaman turun-menurun, diharapkan mampu menjaga basis dukungan dari wilayah kantong Islam NU yang berada di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Termasuk pula kerja bersama seluruh barisan partai dalam koalisi untuk memperluas dukungan dari pemilih-pemilih di luar Jawa. PKB pada dasarnya pun memiliki nilai tawar yang besar dalam hal ini untuk membangkitkan kantong-kantong pemilih loyalnya di daerah-daerah pendatang (transmigrasi Jawa) seperti di Pulau Sumatera atau Kalimantan.
Di luar itu, yang perlu juga menarik untuk diamati, pendeklarasian yang dilakukan oleh KPP untuk pasangan Anies dan Gus Imin ini juga memantik terjadinya gejolak politik bagi kubu koalisi ataupun Partai Demokrat itu sendiri. Hengkangnya Demokrat dari KPP membuat peta politik kembali sangat cair. Pada posisi sekarang Demokrat bisa mengambil sejumlah pilihan untuk bergabung pada koalisi yang sudah ada.
Baik itu bergabung pada Koalisi Indonesia Maju—yang berisi partai parlemen Gerindra, Golkar, dan PAN, yang sebelumnya juga diisi oleh PKB—maupun bergabung dengan koalisi PDI-P dan PPP. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pula jika Demokrat dan sejumlah partai lain membangun poros baru dan mengusung dukungan pasangan calon alternatif lain.
Setelah pendeklarasian pasangan Anies dan Gus Imin, salah satu respons yang paling menarik terlihat datang dari PDI-P. Sejumlah elite PDI-P menyampaikan ada kemungkinan besar komunikasi dengan Demokrat akan dilakukan kembali, bahkan bisa jadi lebih diintensifkan.
Sejalan dengan itu, Demokrat pun menyatakan siap untuk kembali memulai langkahnya membangun komunikasi dengan partai-partai lain. Termasuk salah satunya dengan PDI-P, yang sebelumnya kedua partai juga pernah melakukan silaturahmi politik pada pertengahan tahun lalu.
Pada akhirnya di tenggat yang masih tersisa sebelum masa pendaftaran calon presiden, bisa dikatakan belum ada sesuatu yang final dan berbagai kemungkinan tentu masih akan dapat terjadi.
Pergeseran sikap ataupun transformasi dalam koalisi merupakan bentuk kewajaran sebagai upaya membangun kekuatan politik yang paling ideal untuk memenangi pemilihan presiden nanti. (kompas)