SEMARANG, 19/10 (beritajateng.net) – Keong menjadi salah satu hama yang menggangu dalam sektor pertanian. Tak anyal, banyak petani mengeluhkan kerusakan rumpun padi akibat ulah hewan herbivora ini.
Pertumbuhan signifikan hama keong terlebih saat musim hujan seperti saat ini membuat para petani harus membersihkan hama secara manual dengan mengambil keong satu persatu di area sawah. Daging keong kerap dimanfaatkan warga menjadi kuliner sate keong atau dimanfaatkan menjadi pakan ternak bebek. Sementara cangkang keong dianggap tak berguna dan dibiarkan begitu saja.
Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, bekerjasama dengan Lembaga Membangun Generasi Emas (MGE) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang memiliki cara ampuh mengolah dan memanfaatkan cangkang keong menjadi obat pengawet sayur dan buah-buahan.
Ditemui di Desa Wisata Organik Kelurahan Wonolopo Semarang, Tim AKPRIND dan MGE memberikan pelatihan kepada petani milenial cara mengolah cangkang keong menjadi kitosan.
Salah satu Dosen Teknik Kimia Akprind, Gusmarwani mengatakan pembuatan kitosan cukup mudah. Warga bisa memanfaatkan cangkang udang, kepiting maupun keong untuk diubah menjadi obat pengawet sayur dan buah.
“Kitosan merupakan modifikasi senyawa kitin yang terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang, keong dan kepiting. Inti dari proses ini adalah mengisolasi Kalsium sehingga mengubahnya menjadi bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan,” ujar Gusmawarni.
Menurutnya, kitosan yang terbuat dari kulit udang memiliki tekstur lebih tipis dan halus. Sedangkan kitosan dari cangkang keong lebih tebal. “Dalam satu kilogram cangkang keong, bisa diolah menjadi 200 gram kitosan,” ujarnya.
Cara mudah, lanjutnya, yakni pertama dengan mencuci bersih cangkang keong dan dikeringkan dan menghancurkannya dengan cara ditumbuk kemudian diblender dan dilakukan pengayakan hingga didapatkan cangkang keong yang benar-benar halus.
Proses selanjutnya yakni perebusan cangkang keong yang telah halus dengan air dan dilanjutkan dengan proses deproteinasi dengan NaOH, pencucian hasil sampai netral, proses demineralisasu dengan HCI, proses deasetilasi dengan NaOH, dicuci kemudian dikeringkan. Pengeringan bisa menggunakan oven maupun panas langsung matahari.
Gusmawarni menyebut jika kitosan yang dihasilkan mampu mengawetkan buah dan sayur selama kurang lebih sebulan.
“Cara menggunakan kitosan mudah, perbandingannya 1:100. Jadi satu sendok makan dilarutkan dalam 100 mili air, kemudian ditambah asam apapun atau biasanya kita gunakan cuka makan satu sendok teh. Kitosan yang sudah dilarutkan kemudian bisa disemprotkan menggunakan spray ke sayur atau buah, ” Ungkapnya.
Ia menjamin kitosan yang dibuatnya aman di gunakan masyarakat karena akan larut dalam air saat dicuci, sehingga tidak membahayakan masyarakat.
Founder Lembaga Membangun Generasi Emas (MGE), Sapto Nugroho mengatakan, kolaborasinya dengan Institut Sains dan Teknologi AKPRIND telah melakukan pelatihan dan upaya pengabdian kepada masyarakat.
“Di kota Semarang, kami dengan AKPRIND memberikan pelatihan hand sanitizer warga rehabilitasi narkoba di Cepoko. Kita juga menjangkau dari anak-anak PAUD bahkan hingga perguruan tinggi, agar tidak ada anak putus sekolah. Sehingga bersama AKPRIND dan bu Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu memberi pelatihan para petani milenial dan ibu-ibu di Wonolopo ini,” Katanya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, pemanfaatan hama cangkang keong menjadi pengawet sayur dan buah-buahan sangat bermanfaat. Terlebih, di kelurahan Wonolopo banyak produk-produk pertanian seperti sayur mayur dan buah-buahan.
“Kali ini saya mendampingi rekan-rekan Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Jogja terkait dengan pemanfaatan hama sawah menjadi pengawet sayur dan buah. Di Wonolopo ini kalau airnya disawah banyak, maka hama keong ini juga banyak, namun jika air sedikit maka hama gulma yang merajalela. Sehingga dari rekan-rekan AKPRIND hadir disini mengambil hama atau limbah keong untuk kemudian diubah menjadi Kitosan,” ujar Mbak Ita sapaan akrabnya.
Tak hanya pelatihan membuat Kitosan, pihaknya juga memberi pelatihan pembuatan wedang uwuh, secang dan jahe bubuk. “Kami coba gali potensi wilayah Wonolopo ini, karena disini banyak rempah dan tanaman toga makanya dilakukan pelatihan ini. Masih banyak potensi lain, terlebih di Wonolopo ini penghasil Pete dan jengkol yang bisa dibuat sambal kemasan, ” Imbuh Mbak Ita.
Menurut Mbak Ita, dengan menggali dan memanfaatkan potensi wilayah dari hulu hingga hilir dari sektor pertanian hingga produk UMKM dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. “Kami mendorong desa wisata kampung organik Wonolopo ini lebih berkembang sehingga dapat memberikan kesejahteraan warga disini,” terangnya. (*)