LELAKI itu selalu sigap dan ramah menyambut orang yang datang ke gerobak PKL-nya di perempatan Jl. Majapahit, Jl. Mataram dan Jl. M.T. Haryono Kota Semarang. Walau tidak jarang yang datang ke gerobaknya sekadar tanya jalan karena kesasar.
Lelaki itu adalah Erwinda. Ia sudah 20 tahun berjualan lumpia di perempatan yang bising oleh suara kendaraan tersebut.
Lumpia Pak Win, itulah nama lumpia Erwinda. Tulisan “Lumpia Pak Win” mudah dikenali karena ditulis ukuran besar dan mencolok.
Namun tidak banyak yang tahu kalau Erwinda, pemilik gerobak lumpia tersebut, termasuk tokoh Taruna Tanggap Bencana (Tagana) Kota Semarang.
Erwin adalah Koordinator Tagana Kota Semarang. Dia baru setahun mengemban jabatan itu.
“Kalau saya sendiri mulai aktif di Tagana tahun 2010,” kata lelaki asli Kota Semarang yang lahir tahun 1982 ini.
Memang menjadi Tagana sifatnya relawan, bukan karyawan atau pegawai, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari harus ada sumber nafkah yang lain. Justru dengan pekerjaannya yang non-formal ini bila sewaktu-waktu tenaganya dibutuhkan di daerah bencana bisa langsung berangkat.


Erwinda, sebagaimana tugas utama Tagana, di daerah bencana adalah di dapur umum atau mengurusi logistik korban bencana/pengungsi.
Bagi Erwinda penugasan di tempat kejadian bencana (TKB) sudah tidak terhitung jumlahnya, mulai dari Kota Semarang, luar Provinsi Jawa Tengah, hingga luar Pulau Jawa. Erwinda di antaranya diterjunkan di TKB di Cianjur, Jawa Barat (2022) dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (2018), bahkan selama berhari-hari.
“Untuk penugasan ke luar Jateng biasanya dari Kementerian Sosial minta bantuan ke Tagana Jawa Tengah dan difasilitasi Dinas Sosial Pemrov. Jawa Tengah, seperti di Cianjur dan Lombok,” kata bapak tiga orang anak ini.
Tapi kerapkali bila terjadi bencana, misalnya di Kota Semarang atau dearah terdekat Semarang, tanpa dikomando Erwin dan tim Tagana Kota Semarang langsung bergerak.
Baca juga: Kebakaran TPA Jatibarang, Dinsos Kota Semarang Kerahkan Relawan
“Kalau TKB-nya dekat langsung meluncur. Tidak usah menunggu komando. Kalau bencana yang penting action dulu di lapangan. Kalau sudah terkendali baru kita lapor,” kata Erwinda.
Bagi Erwinda berada di TKB berhari-hari, bahkan nyaris sebulan, bukan hal baru. Demikian pula dengan keluarganya, sudah terbiasa ditinggal Erwinda bertugas.
Bila berada di TKB selama berhari-hari praktis untuk usaha lumpia diambil alih istrinya. Sang istri memegang kendali mulai masak hingga menjaga gerobak.
“Kalau istri mendukung kita di lapangan enjoy. Tidak memikirkan rumah karena sudah dihandle istri,” ujar Erwinda sambil tersenyum.
Diceritakan Erwinda, tugasnya di dapur umum adalah menyiapkan makanan korban bencana atau pengungsi. Sehari Erwinda harus menyiapkan tiga kali makan dengan menu umum.
Menu yang umum adalah pagi nasi goreng plus telor, untuk anak-anak usia di bawah 5 tahun dan lansia biasanya disediakan bubur, siang harinya berupa nasi, sayur, lauk telor, dan malam penyetan. Semua menu sudah ditentukan oleh Kementerian Sosial.
“Di daerah bencana atau dalam kondisi darurat yang penting perut kenyang atau terisi dulu,” ujarnya.
Jika skala memasaknya banyak tim Tagana kerap melibatkan ibu-ibu korban bencana untuk membantu di dapur umum. Kalau skalanya kecil cukup ditangani dari tim Tagana yang jumlahnya antara 5 sampai 10 orang.
“Bencana besar misal sekali makan 3000 nasi bungkus. Harus tambah personel. Kalau Tagana kurang personel kita minta tolong warga sekitar, terutama ibu-ibu PKK untuk packing. Seperti di Cianjur, paling banyak sehari 9000 bungkus atau sekali makan 3000 bungkus,” ujarnya.
Makan untuk pengungsi paling pagi sudah siap sebelum pukul 08.00.
Komplain dari korban bencana sudah sering ditemui Erwinda dan tim.
“Komplain pertama karena masakan dirasa pedas. Itu sebabnya untuk umum pedasnya tidak terlalu. Untuk yang suka pedas kita tambahi sambal. Kedua, jumlah pengungsi tidak sesuai data, karena itu setiap hari harus update data. Sebab antara hari ini dan besok jumlah pengungsi bisa beda, bisa berkurang bisa tambah, namun dari pengalaman yang ada sering bertambahnya. Karena itu masak ditambahi, sebab jika ada tambahan pengungsi tetap bisa kita layani,” katanya.
Bagi Erwinda menjadi relawan banyak sukanya daripada dukanya. “Sukanya kita banyak mengenal orang dan membantu orang yang membutuhkan bantuan. Ini sejalan dengan alasan saya menjadi relawan, yaitu menolong orang dan belajar menjadi orang yang mempunyai jiwa sosial,” katanya.
Soal dukanya, kata Erwinda, paling-paling sambutan yang apriori dari beberapa korban bencana. Di beberapa tempat ada sebagian korban yang menganggap kehadiran Tagana tidak membantu tapi malah menganggu.
“Memang ada yang merasa tertanggu, tapi itu hanya satu dua orang. Namun yang menyambut kehadiran kami dengan baik cukup banyak, seperti di Cianjur dan Lombok. Memang kami datang untuk menolong,” katanya.
Erwinda mengaku akan terus mengabdikan diri menjadi relawan, dan sewaktu-waktu siap berangkat bila terjadi bencana.
Hari-hari ini Erwinda bersama Tagana Kota Semarang dan di bawah koordinasi Dinas Sosial Kota Semarang standby di posko kebakaran sampah di TPA Jatibarang, Kota Semarang. Erwinda membantu di dapur umum bahu membahu bersama relawan lain.(bud)