Diterbitkan di Jakarta, 24 Februari 2025
Oleh: Dodi Ilham, Presiden GOBER Community & Ketua Koperasi GOBER Indonesia
Pendahuluan
Peluncuran Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai sovereign wealth fund (SWF) baru Indonesia membawa harapan bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas investasi. Namun, dalam konteks politik nasional yang masih diwarnai oleh politik primitif, penyalahgunaan hukum, korupsi sistemik, serta fenomena generasi muda yang memilih hengkang (#KaburAjaDulu), optimisme terkait Danantara patut dianalisis secara objektif dan multidimensional.
Selain itu, citra koperasi yang seharusnya menjadi Soko Guru Ekonomi bangsa justru mengalami dekadensi selama lima puluh tahun terakhir, jauh dari konsep ekonomi gotong royong yang diwariskan leluhur Nusantara. Alih-alih menjadi alat self-determination right bangsa Indonesia, koperasi justru tersubordinasi oleh kepentingan korporasi predatoris yang melakukan pemanfaatan berlebihan terhadap rakyat.
1. Politik Primitif dan Dampaknya pada Danantara
Politik primitif yang masih bercokol di Indonesia mencakup politik dinasti, kooptasi institusi negara, dan oligarki ekonomi. Risiko yang muncul dari kondisi ini adalah:
Kepemimpinan Danantara yang didominasi oleh kepentingan politik tertentu, sehingga orientasi investasi tidak berbasis kinerja, melainkan loyalitas politik dan kepentingan oligarki.
Jika Danantara dikelola oleh elite yang selama ini melanggengkan ekonomi rente, maka SWF ini tidak akan berbeda dengan BUMN yang selama ini diperas oleh kepentingan politik.
Ketidakpastian politik akibat pemilu dan transisi kekuasaan dapat membuat investor ragu, karena keberlanjutan kebijakan Danantara tidak terjamin.
2. Demokrasi yang Cacat dan Penyalahgunaan Hukum
Indonesia saat ini menghadapi penurunan kualitas demokrasi, dengan hukum sering digunakan untuk melindungi kekuasaan daripada menegakkan keadilan. Dampaknya terhadap Danantara:
Minimnya mekanisme check and balance membuka celah bagi penyalahgunaan dana investasi untuk kepentingan politik atau korupsi.
Regulasi yang inkonsisten membuat kebijakan ekonomi tidak bisa dijamin keberlanjutannya, sehingga investor asing enggan terlibat.
Independensi penegak hukum yang lemah memungkinkan praktik investasi Danantara tidak transparan, karena tidak ada pengawasan ketat terhadap potensi conflict of interest.
3. Korupsi Sistemik dan Dampaknya terhadap Danantara
Indonesia masih masuk dalam kategori negara dengan tingkat korupsi tinggi. Beberapa risiko utama terkait Danantara:
Potensi “dana siluman” dalam investasi karena tidak ada mekanisme transparansi yang ketat dalam pengelolaan aset BUMN.
Risiko penempatan investasi yang tidak efektif akibat adanya praktik nepotisme dalam memilih proyek investasi.
Investor asing akan skeptis, karena investasi jangka panjang membutuhkan stabilitas hukum dan kepastian regulasi, yang sulit dicapai jika korupsi masih masif.
4. “Kabur Aja Dulu” dan Dampak Brain Drain terhadap Danantara
Fenomena #KaburAjaDulu, di mana generasi muda berbakat memilih meninggalkan Indonesia, menjadi ancaman bagi keberlanjutan proyek Danantara:
Kekurangan talenta terbaik dalam mengelola SWF ini, karena banyak profesional lebih memilih bekerja di luar negeri yang lebih stabil.
Kurangnya daya saing SDM lokal membuat Danantara berisiko harus merekrut tenaga asing, yang ironisnya bisa mengurangi kemandirian ekonomi Indonesia.
Kurangnya kepercayaan generasi muda terhadap negara menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi dan politik saat ini gagal meyakinkan mereka untuk berkontribusi di dalam negeri.
5. Dekadensi Koperasi: Dari Soko Guru Ekonomi ke Alat Korporasi Predatoris
Selama lebih dari lima puluh tahun terakhir, citra koperasi sebagai Soko Guru Ekonomi bangsa telah hancur lebur. Padahal, koperasi adalah warisan budaya adiluhung leluhur Nusantara yang mencerminkan nilai gotong royong dan ekonomi berkeadilan. Namun, alih-alih menjadi pilar ekonomi rakyat, koperasi telah mengalami deformasi sistemik akibat kooptasi korporasi dan kekuasaan.
Faktor utama kemunduran koperasi:
1. Koperasi dijadikan alat legitimasi korporasi besar.
Banyak koperasi yang hanya digunakan sebagai tameng legal bagi korporasi predatoris untuk menghindari regulasi ketenagakerjaan atau pajak.
Akibatnya, koperasi yang seharusnya membela hak pekerja justru menjadi kepanjangan tangan oligarki.
2. Politik Orde Baru menghancurkan kemandirian koperasi.
Pada era Soeharto, koperasi disubordinasi di bawah negara dan tidak diberi ruang untuk tumbuh secara independen.
Hingga kini, paradigma koperasi masih terdistorsi, di mana koperasi dipandang hanya sebagai “bawahan” kementerian, bukan entitas ekonomi yang berdikari.
3. Pentingnya Kepemimpinan yang Berbudaya dan Berbasis Belief in God
Kepemimpinan dalam koperasi dan sektor ekonomi nasional harus didasarkan pada nilai-nilai luhur dan keteladanan nyata, bukan sekadar omon-omon politik.
Integritas, moralitas, dan kesadaran spiritual harus menjadi pilar utama dalam kepemimpinan ekonomi agar kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak pada rakyat.
Tanpa landasan kepribadian yang berbudaya dan berbasis keimanan kepada Tuhan (Belief in God), kebijakan ekonomi hanya akan menjadi alat kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kesejahteraan bangsa.
Kesimpulan: Forecast yang Realistis atau Ilusi?
Jika dilihat dari segi ekonomi murni, Danantara bisa menjadi instrumen penting dalam menarik investasi dan memperkuat BUMN. Namun, dalam konteks politik nasional yang tidak kondusif, forecast positif terhadap kebangkitan saham BUMN lebih cenderung ilusi daripada realitas.
Sementara itu, koperasi yang seharusnya menjadi pilar ekonomi rakyat justru dirusak dan dikooptasi oleh kepentingan korporasi dan kekuasaan. Tanpa upaya serius untuk merevitalisasi koperasi sebagai kekuatan ekonomi mandiri dan kepemimpinan yang berbudaya serta berbasis Belief in God, Danantara berisiko hanya menjadi kendaraan baru bagi oligarki, sementara koperasi tetap terpinggirkan dari cita-cita ekonominya sendiri.