PERNAHKAH orang kota, yang tinggal putar kran air sudah mancur meski di musim kemarau panjang, membayangkan menjadi warga Dusun Jati, Desa Gudangharjo, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri?
Bagi sebagian besar warga Dusun Jati, juga Dusun Jahen dan Dusun Jatakan, musim kemarau adalah paceklik. Di musim kemarau penduduk Desa Gudangharjo yang mayoritas bekerja sebagai petani ini tidak saja tidak bisa mencari nafkah, tapi harus mengeluarkan duit untuk membeli air kebutuhan masak, mandi, cuci dan pakan ternak.
Desa Gudangharjo yang berjarak 40 km arah timur dari pusat Kabupaten Wonogiri tersebut memang terkenal daerah paceklik air kalau musim kemarau. Desa ini terdiri atas 5 dusun, yaitu Dusun Jati, Jahen, Jatakan, Telak dan Bogor. Dari lima dusun itu, Dusun Jati, Jahen dan Jatakan paling krisis air kalau musim kemarau.
Kalau musim hujan kebutuhan air bersih tergolong aman, karena warga menampung air hujan di kolam atau Instalasi Permanen Air Hujan (IPAH) di sekitar rumah. Kolam-kolam itu seukuran 4 m x 2 m atau 5 m x 2 m. Diplester. Kolam menampung air hujan, khususnya dari atap rumah.
“Kalau musim kemarau kami harus membeli air di Kecamatan Giritontro dan Pracimantoro. Biasanya kami langsung beli 1 tangki air kapasitas 6000 atau 7000 liter,” kata Agung Purnomo (36), warga Dusun Jatakan, Desa Gudangharjo, yang di rumahnya mempunyai kolam penampungan air ukuran 3 m x 2 m dengan kedalaman 2,5 meter.
Jarak Kecamatan Giritontro dan Pracimantoro ke Dusun Jati, Jahen dan Jatakan sejarak hampir 50 km.


Air satu tangki itu dibeli warga dengan harga beraneka. Untuk tangki volume 6000 liter antara Rp160.000 sd Rp180.000 dan tangki volume 7000 liter antara Rp180.000 sd Rp200.000. Air dari truk tangki ditampung di kolam penampungan air di masing-masing rumah.
Air yang dibeli tersebut dua pekan saja sudah habis. Bila habis, maka beli lagi satu tangki. Karena air sudah menjadi kebutuhan utama, maka dengan berbagai upaya masyarakat harus membeli. Tidak sedikit warga yang menjual kambing atau kelapa untuk membeli air sepanjang musim kemarau.
Itu sudah berlangsung bertahun-tahun.
Namun, sejak tahun 2017, warga ibarat musafir yang menemukan oase di hamparan padang pasir. Oase itu adalah embung.
Ya, embung di Desa Gudangharjo, tepatnya di Dusun Jatakan.
Embung tersebut dibangun di atas lahan seluas 5000 m2. Sedangkan fisik embung 50 m x 100 m. Elevasi maksimal 4 meter, volume maksimal 52.116,65 m3 dan luas genangan 0,7632 hektar.
Sejak adanya Embung Gudangharjo warga sudah tidak lagi membeli air tangki. Mereka memanfaatkan embung tersebut untuk kebutuhan sehari-harinya, mulai masak, mandi, cuci dan minum ternak. Air embung dilarang untuk irigasi pertanian dan budidaya ikan.
Warga dari tiga dusun tersebut mengambil air menggunakan jerigen lalu dipikul atau diangkut sepeda motor, dan yang dekat dengan embung menarik air menggunakan pompa air.


Hematnya, Embung Gudangharjo dimanfaatkan 450 KK (sekitar 1200 jiwa) di Dusun Jati, Jahen dan Jatakan.
Agung Purnomo pun demikian. Sejak adanya embung dia menggunakan air embung untuk memasak, minum, mandi, cuci dan minum ternaknya. Jarak rumah Agung dengan embung sekitar 200 meter.
Setiap hari Agung yang bekerja di penggergajian kayu di desanya ini membutuhkan 10 sampai 12 jerigen air untuk empat jiwa (Agung, istri, satu anak dan ibu). Bagi warga yang mempunyai anggota lebih banyak, termasuk jumlah ternaknya, tentu membutuhkan air lebih besar lagi.
Di sekitaran embung juga dibangun tempat untuk mencuci pakaian dan dua kamar mandi untuk warga. Ada juga gazebo. Fasilitas tersebut dibangun bersamaan dengan pembangunan embung.
Apakah air embung tersebut bisa untuk memenuhi kebutuhan warga selama musim kemarau?
Sarmo, ST., Korpokla Wilayah Jlantah Balai PSDA Bengawan Solo, mengatakan ketersediaan air di Embung Gudangharjo tidak pernah kekurangan meski setiap hari dimanfaatkan oleh seribuan lebih jiwa. Per tanggal 18 Oktober 2023, ketinggian air 1,05 m : 13.681 m³ atau masih 26% dari tampungan maksimal.
“Bahkan musim kemarau panjang tahun kemarin masih menyisakan 40 cm ketika baru turun hujan,” kata Sarmo dengan didampingi Edi Dwi Hartanto, Petugas Operasional dan Pemeliharaan (O&P) Embung Gudangharjo, kepada beritajateng.net, Kamis (19/10).
Dengan demikian untuk musim kemarau tahun ini warga Dusun Jati, Jatakan dan Jahen tidak khawatir lagi kekurangan air karena tabungan air di embung masih cukup sampai datangnya musim hujan mendatang.
Sementara di sisi utara Jawa Tengah, tepatnya di Desa Sojomerto, Kec. Gemuh, Kabupaten Kendal, Sugianto (73) dan Abdul Wahid (52), benar-benar “los dol” alias melaju tanpa hambatan dalam bertani. Musim hujan lanjut ke musim kemarau.
Sugianto dan Abdul Wahid petani tulen di desa yang kondang sebagai sentra tembakau di Kendal tersebut. Hidupnya dari bertani. Namun mereka tidak menanam tembakau, tapi brambang dan mentimun. Mereka tidak mempunyai tanah tegalan sendiri. Mereka menyewa tanah bengkok milik Pemdes Sojomerto.


Baik Sugianto maupun Abdul Wahid menyewa tanah seluas 4500 m2 Rp12 juta per tahun. Di atas tanah sewa itu mereka menanam brambang 2 kali setahun dan mentimun sekali setahun. Untuk brambang sekali panen menghasilkan 4 ton, sementara mentimun 5 ton sekali panen.
Sugianto dan Abdul Wahid tidak sendirian di tegal. Mereka dibantu pekerja. Abdul Wahid dibantu 4 orang dengan upah Rp100.000/hari/orang dan Rp50.000/setengah hari (per bedug)/orang. Upah itu di luar makan dan rokok.
Bercocok tanam musim hujan tidak masalah. Air berlimpah. Namun begitu masuk musim kemarau mereka harus gantung pacul alias istirahat total. Pasalnya, brambang dan mentimun butuh air banyak untuk penyiraman setiap hari.


“Selama musim kemarau saya tidak bertanam karena kesulitan air,” kata Abdul Wahid yang diamini Sugianto kepada beritajateng, Rabu (18/10).
Tetapi itu cerita sebelum ada embung di Desa Sojomerto alias Embung Sojomerto. Sejak di desa tersebut tahun 2016 dibangun embung sebagai program Gerakan 1000 Embung yang dicanangkan Pemprov. Jateng, Sugianto dan Abdul Wahid sudah bisa bercocok tanam sepanjang tahun.
Embung Sojomerto dengan kedalaman 5 m (rata-rata air 4 m) bisa menampung air 8.539 m³ dan selalu tersedia sepanjang musim. Suplay air Embung Sojomerto berasal dari Bendung Sojomerto yang berjarak sekitar 1 km dari embung. Adapun air Bendung Sojomerto berasal dari waduk Curugsewu nun jauh di Desa Curugsewu, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal.
Dari Curgsewu air mengalir sampai jauh ke Bendung Sojomerto melalui Sungai Blukar. Air yang terhimpun di Bendung Sojomerto sejatinya juga untuk embung yang lain, yaitu Embung Triharjo, Bumiayu, Kedungasri, Ngrejo, Ringinarum, Tejorejo, Rowo Branten dan Kedunggading.


Dari Bendung Sojomerto ke Embung Sojomerto dialirkan melalui saluran irigasi tersier. Ketika beritajateng.net ke lokasi, Rabu (18/10), terlihat air jernih mengalir menuju pintu air embung.
Embung Sojomerto bisa mengairi lahan pertanian dengan radius 1 km. Petani menyedot air menggunakan selang 3 dim. Jika lokasi tegalan jauh dari embung petani, seperti halnya Sugianto, air disedot menggunakan mesin pompa air. Jika dekat, sebagaimana Abdul Wahid, cukup memanfaatkan gratifikasi.
“Alhamdulillah sejak ada embung saya bisa terus menanam sepanjang tahun. Seperti tahun ini saya menanam brambang dan mentimun, hasilnya bagus semua,” kata Abdul Wahid.
Kebetulan lahan yang disewa Abdul Wahid cukup dekat, bahkan mepet, dengan embung. Sehingga dari embung ke tegalannya Abdul Wahid membutuhkan selang tidak lebih dari 15 meter untuk menyedot air dari embung. Tanpa menggunakan mesin pompa air mengalir deras ke tegalannya.
Abdul Wahid setiap hari melakukan penyiraman yaitu di pagi hari. Air yang menggenang di tegalannya disiramkan ke tanaman.
Berbeda dengan Sugianto, untuk mengalirkan air ke tegalannya yang berjarak sekitar 50 meter dari embung dia membutuhkan solar untuk mesin pompanya. Dua hari sekali dia mengairi tegalannya. Sekali mengairi, dengan durasi waktu setengah hari, Sugianto membutuhkan lima liter solar.
Saat ini harga brambang Rp10.000/kg di tingkat petani dan mentimun Rp6000/kg di tingkat petani. “Kalau lagi baik harga brambang bisa sampai Rp25.000 per kg,” kata Abdul Wahid.
Brambang membutuhkan masa tanam 60 hari dan mentimun 35 hari.


Syam Sahida Ali Mustofa, ST., MT., Subkor OP Balai PSDA Bodri Kuto Dinas PUSDATARU Prov. Jateng, mengatakan petani bisa memanfaatkan air embung secara gratis. “Silakan gunakan air embung untuk bertanam. Ijinnya cukup lisan saja ke petugas PPA,” kata Syam Sahida dengan didampingi Tozaroh, Mantri Embung Sojomerto.
Embung Sojomerto dan Embung Gudangharjo merupakan dua embung hasil dari Gerakan 1000 Embung yang dicanangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tahun 2013.
Pembangunan embung merupakan salah satu upaya Pemprov Jateng untuk mencukupi kebutuhan air guna mendukung ketahanan pangan. Embung yang dibangun sebagian besar menggunakan prinsip memanen hujan.
Ini karena Jawa Tengah kerap dilanda bencana kekeringan saat musim kemarau dan banjir saat musim hujan. Air yang ditampung dalam embung dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah saat musim kemarau, dan menyediakan sumber air baku untuk warga. Apalagi, sebagai salah satu lumbung pangan di Tanah Air, Jawa Tengah harus menjaga produktivitas pertaniannya.
Biaya pembangunan embung bersumber dari APBN dan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Pembangunan yang didanai APBD Jawa Tengah dilakukan secara gotong royong oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Dinas PUSDATARU), Dinas Pertanian dan Perkebunan dan pemerintah kabupaten/kota. Provinsi Jawa Tengah juga mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat untuk membangun 390 embung dan hibah CSR perusahaan sebanyak 3 unit.


Kepala Dinas PUSDATARU Provinsi Jawa Tengah, Eko Yunianto, mengatakan, dari tahun 2013 hingga akhir tahun 2022 pembangunan embun di Provinsi Jawa Tengah mencapai 1.141 embung, baik yang dikerjakan pusat maupun provinsi. Tahun 2023 ini masih ada satu embung yang masih dalam proses pengerjaan, yaitu Embung Plumbon di Sukoharjo.
Sedangkan embung yang dibangun di bawah Dinas PUSDATARU sebanyak 75 embung dan 17 long storage yang tersebar di 22 kabupaten/kota.
“Gerakan 1000 Embung bukan target angka. Itu maknanya bagaimana memotivasi kita yang membidangi sumber daya baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota untuk bisa mendayagunakan sumber air permukaan yang ada,” kata Eko Yunianto kepada beritajateng.net.
Dikatakan oleh Eko, curah hujan di Jawa Tengah kalau ditampung dalam satu tahunnya punya potensi 68 milyar m³. Hanya saja pada saat hujan tidak semua tertampung dan banyak yang lari ke laut. Sementara waduk dan embung yang ada di Jawa Tengah daya tampungnya baru 1,811 milyar m³.
“Potensi hujan sangat luar bisa sementara tampungan sangat terbatas. Karena itu untuk menampung air di musim penghujan dan memanfaatkan di musim kemarau dibuat tampungan-tampungan air seperti embung,” kata Eko sembari menambahkan bahwa akan jauh lebih efektif kalau curah hujan bisa ditampung di perut bumi melalui konservasi.
“Langkah membuat embung sangat mulia, sebagai pertanda bahwa kita butuh air. Tapi kadang-kadang orang lupa bagaimana mendapatkan air. Sedikit orang memikirkan mengolah air dan memikirkan keberadaan air itu sendiri,” ujarnya.
Eko juga mengingatkan bahwa embung secara umum bukan untuk irigasi padi. Pasalnya padi kebutuhan atas air cukup besar. Padi membutuhkan 1,2 liter/detik/hektar.
“Bandingannya, embung-embung yang kami bangun estimasi volume kalau lahan 1 hektar konversi ke volume kurang lebih 10.000 m³. Lha kalau 10.000 m³ dipakai untuk mengairi padi yang 1 hektar hanya 3 bulan sudah habis. Satu hektar. Sungguh sangat tidak efektif. Efektif itu bagaimana pada saat musim kemarau masyarakat terbantu dengan keberadaan embung yaitu sebagai bahan baku di samping untuk menyirami,” ujarnya.
Menurut Eko Yunianto, sebaiknya fungsi embung tetap sesuai dengan tujuan awal membangun embung yaitu penyediaan air baku. Fungsi embung jangan dicampur aduk, misalnya untuk objek wisata atau budidaya ikan.
“Tujuan embung yaitu untuk penyediaan air baku. Itulah yang mejadi top priority-nya. Itu dulu sebelum timbul keinginan yang lain. Masalah sampingannya itulah kecerdikan kita. Bukan kecerdikannya mengganti fungsi utama. Jangan sampai dijustifikasi ‘begini saja kok tidak boleh padahal ini pinggir jalan besar’. Harusnya menjadi kewajiban menjaga lingkungan. Sebagai orang yang cermat dia akan tahu menjaga itu berarti ‘saya akan memanfaatkan view-nya saja’, tapi begitu intervensi ke badan air akan muncul permasalahan,” ujarnya.
Abdul Wahid, Sugianto, Agung Pramon, dan pemanfaat embung lainnya kini bisa tenang di musim kemarau. Air untuk bertani tersedia, dan air untuk kebutuhan masak, minum, mandi, cuci dan minuman ternak selalu tersedia.(budi santoso)